Ada Luka di Ruang BEM



Hari itu langit Padang berwarna abu-abu, awan tebal menggantung seperti menahan sesuatu yang tak kunjung jatuh. Bagi Anya, hari itu sebenarnya sama saja dengan hari-hari sebelumnya kuliah, mencatat, mengerjakan tugas, lalu menuntaskan semua kewajiban sebelum dirinya sempat beristirahat. Ia bukan tipe yang pandai menolak, apalagi jika urusan akademik. Dalam benaknya, semakin cepat tugas selesai, semakin ringan langkah esok hari.

Seusai kuliah, Anya mengikuti langkah kaki menuju ruang BEM, tempat beberapa teman termasuk Bungsu sedang berkumpul. Ia tahu Bungsu adalah sosok yang disegani di lingkungannya, cerdas, pandai bersosialisasi, dan sering menjadi pusat perhatian. Namun, Anya tahu sisi lain dari dirinya posesif, penuh rasa curiga, dan punya sifat yang kadang membuat Anya merasa tak berharga.

Di ruang itu, beberapa mahasiswa sedang mengerjakan tugas kelompok. Suasana agak riuh, tawa kecil bercampur dengan keluhan soal soal sulit yang belum mereka pecahkan. Anya duduk agak di sudut, mencoba ikut menyimak tanpa terlalu menonjol. Sampai akhirnya ia mendengar percakapan kecil tentang satu soal yang mereka kebingungan jawab.

Refleks, Anya ikut menyela, memberikan sedikit penjelasan, lalu menuliskan coretan di kertas. Semua mata sempat tertuju padanya. Salah satu dari mereka berkomentar, “Oh, ternyata kayak gini ya. Pantas tadi nggak nyambung-nyambung.” Mereka tersenyum, bahkan ada yang berterima kasih. Anya hanya membalas dengan senyum tipis.

Namun, dari sudut mata, ia menangkap wajah Bungsu yang berubah. Dingin. Tegang. Ada guratan marah yang tidak bisa ia sembunyikan. Anya tertegun, dadanya menegang. Ia tahu ekspresi itu, ia pernah melihatnya berulang kali. Itu pertanda bahaya.

Tak lama kemudian, Bungsu berdiri, merapikan tasnya dengan gerakan kasar. Tanpa menatap Anya, ia melangkah keluar. Anya yang kaget buru-buru berdiri, berusaha menyusul. “Bungsu, tunggu!” panggilnya, tapi laki-laki itu tak menoleh.

Ia berjalan cepat ke parkiran. Anya mencoba menyamakan langkah, tangannya sempat menarik ujung jaket Bungsu, tapi hanya ditepis. Seolah kehadirannya tidak lebih dari angin lewat. “Kenapa? Aku salah apa?” tanya Anya dengan suara hampir bergetar.

Tak ada jawaban. Helm dikenakan, motor dinyalakan, dan dengan sekali putar gas, Bungsu melesat pergi, meninggalkan Anya yang berdiri terpaku. Beberapa mahasiswa yang kebetulan lewat hanya menatap bingung, sebagian menahan komentar. Anya menahan sesak didadanya, lalu buru-buru menuju motornya sendiri. Ia tidak rela ditinggalkan begitu saja. Tidak kali ini.

Dengan tubuh bergetar, ia mengikuti arah yang biasanya menuju rumah Bungsu. Perjalanan itu bukan hal yang mudah baginya. Jalanan kota penuh dengan kendaraan, lampu lalu lintas padat. Anya yang sedang tidak fokus malah menerobos sedikit batas lampu merah. Seorang polisi berdiri di pinggir jalan, langsung meniup peluit, menghentikannya.

“Dek, kenapa kamu nerobos lampu? Bahaya tahu nggak?” suara polisi itu terdengar tegas.

Anya menatapnya kosong. Entah kenapa ia justru merasa santai. Dalam tasnya ada uang lebih dari seratus juta, bukan uangnya, sebagian milik keluarganya, yang baru ditariknya dari bank. Namun, keberadaan uang itu membuatnya merasa punya kendali. Ia tahu betul tabiat polisi di kota ini. Paling hanya diminta ‘uang rokok’. “Pak, maaf saya nggak fokus. Gimana kalau saya bantu bapak sedikit aja?” katanya pelan sambil menyelipkan selembar uang seratus ribu. Polisi itu langsung melunak, mengangguk, dan melepasnya tanpa banyak tanya.

Anya kembali menyalakan motor, melaju ke arah rumah Bungsu. Dadanya masih sesak, pikirannya penuh pertanyaan, kenapa hanya karena ia membantu teman, Bungsu bisa semarah itu?

Sampai di rumah Bungsu, ia mengetuk pintu dengan cemas. Bungsu keluar, wajahnya tetap gelap. “Ngapain kamu ke sini?” suaranya dingin.

“Aku cuma mau minta maaf. Aku nggak maksud bikin kamu marah,” Anya hampir berbisik. Tangannya meremas ujung bajunya sendiri.

“Maaf? Kamu pikir gampang? Kamu bikin orang-orang mikir kalau tugas-tugas yang kukerjakan itu sebenernya kamu yang kerjain. Kamu bikin aku kayak nggak mampu. Kamu pikir aku nggak tahu, ya? Mana mungkin kamu yang junior ngerti semua soal itu.” Bungsu menatap tajam, seolah kata-katanya adalah vonis.

Anya tercekat. Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahan. “Aku cuma ingin bantu... aku nggak ada maksud lain.”

“Udah. Pulang aja. Aku nggak mau lihat kamu sekarang.”

“Bungsu, tolong, jangan gini. Aku salah, aku janji nggak ulangi.” Anya meraih lengannya, tapi ditarik kasar.

“PERGI!” suaranya membentak, keras, membuat Anya mundur setapak. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena marah, tapi karena takut. Ada sesuatu dalam tatapan Bungsu yang menusuk dalam sombong, dingin, dan merasa benar sendiri.

Dengan langkah gontai, Anya akhirnya pergi. Motornya melaju kembali ke arah kos, melewati jalan yang sama dengan hati yang jauh lebih berat. Begitu pintu kamar kos tertutup, tubuhnya ambruk di atas kasur. Air mata yang tadi ia tahan kini jatuh deras, tanpa bisa dihentikan.

Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, suara tangisnya pecah. “Aku capek...” bisiknya. Capek mencoba memahami seseorang yang hanya bisa melihat kesalahannya, tapi tak pernah menghargai ketulusannya. Capek mengejar seseorang yang selalu meninggalkannya tanpa peduli.

Anya menatap langit-langit kamarnya, matanya sembab. Dalam benaknya, muncul pertanyaan yang terus ia hindari, apakah ini cinta, ataukah jebakan? Apakah mencintai seseorang berarti harus selalu siap menjadi korban egonya?

Malam itu, Anya tertidur dengan pipi masih basah oleh air mata. Esok hari mungkin akan sama lagi, Bungsu bisa saja datang seakan tak pernah ada kejadian, seakan Anya yang bersalah dan harus selalu meminta maaf. Namun, di lubuk hatinya yang terdalam, Anya mulai sadar bahwa luka ini bukan sekali-dua kali. Ini adalah luka yang berulang, yang mungkin tak akan pernah berhenti jika ia tak berhenti sendiri.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, kuliah, organisasi, tawa dengan teman-teman, tetapi ada sesuatu yang berbeda di mata Anya. Ia mulai sering termenung, memikirkan kembali apa yang ia alami. Ingatannya kembali pada kejadian di ruang BEM, pada wajah marah Bungsu, pada bagaimana ia ditolak mentah-mentah meski sudah merendahkan diri minta maaf.

Ada bagian dirinya yang masih ingin bertahan, berharap Bungsu akan berubah. Namun, ada juga suara kecil di hatinya yang mulai berbisik: “Bukankah kamu berhak bahagia? Bukankah cinta seharusnya membuatmu dihargai, bukan direndahkan?”

Pertarungan batin itu tak pernah berhenti. Anya tahu, dirinya harus membuat pilihan. Dan pilihan itu tidak pernah mudah antara bertahan dalam luka yang sama, atau berani melangkah pergi untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Malam itu, sebelum tidur, Anya menulis di buku catatannya: Aku lelah. Aku ingin berhenti dikecilkan. Aku ingin kembali menemukan diriku, tanpa harus merasa salah setiap kali bernapas.

Tinta itu mungkin sederhana, tapi menjadi langkah kecil Anya untuk menyadari bahwa dirinya tidak seharusnya hidup dalam bayang-bayang posesif dan narsistik seseorang. Bahwa ada hidup yang lebih luas di luar sana, menunggunya dengan tangan terbuka.

Dan meski perjalanan itu belum ia mulai, setidaknya malam itu Anya sudah menyalakan cahaya kecil dalam gelapnya hati.


...............

Ada Luka di Ruang BEM Ada Luka di Ruang BEM Reviewed by Purnama Merindu on Oktober 19, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.