Cerpen, Purnama Merindu (Episode 3)

Episode 3: Langit yang Tak Lagi Menyisakan Harapan

Hari kelulusan itu datang seperti kabar kosong. Tidak ada perayaan. Tidak ada bunga. Tidak ada foto keluarga di sekolah, tak ada tumpeng, bahkan tak ada sekadar ucapan “selamat” dari ibu yang biasanya penuh semangat.

Anya lulus—tapi hidupnya tidak.

Beberapa minggu setelah kelulusan, rumah mereka di pinggiran kota Padang terasa semakin sesak. Bukan karena ukuran, tapi karena beban.

Malam itu, ibunya batuk berdarah untuk ketiga kalinya. Anya menggigil ketakutan saat melihat bercak merah di sapu tangan lusuh. “Ma, kita harus ke puskesmas…” katanya gemetar. Tapi ibunya hanya menggeleng lemah. “Nggak ada uang, Nak…”

Uang benar-benar habis. Tak ada ubi yang laku di pasar, dan ayah Anya masih seperti dulu—diam, menganggur, dan seolah tak bisa berbuat banyak selain mengisap rokok kretek satu-satu di bangku depan rumah.

Tak ada lagi beras di dapur. Anya memasak sisa beras pemberian saudara ayah dengan air yang agak banyak, menambahkan garam agar adik-adiknya merasa seperti makan bubur.

Di luar rumah, dunia seolah bergerak cepat. Teman-temannya sibuk daftar kuliah. Beberapa bahkan datang ke rumah, menawarkan bantuan, ajakan ikut program beasiswa, atau pinjaman untuk uang pendaftaran. Tapi Anya hanya tersenyum tipis dan menolak halus.

“Aku… cuma lagi pengen istirahat dulu. Capek belajar terus,” katanya sambil pura-pura menata rambut.

Padahal, sesungguhnya, ia hanya ingin menangis.

Seakan belum cukup, badai baru datang: kakaknya, yang tinggal serumah, tiba-tiba ditinggal suaminya. Diam-diam lelaki itu selingkuh dan menikahi perempuan lain yang telah ia hamili.

Kakaknya hancur, seperti orang linglung. Setiap hari menangis, menelepon, menyusuri terminal, bertanya pada teman lama suaminya. Anya tak bisa menghentikannya. Sementara itu, bayi dua tahun kakaknya menjerit minta susu. Tak ada yang bisa memberi, selain Anya.

Ia memasak, mencuci, menggendong, merawat ibu, menjaga adik-adik, menjaga ponakan. Sementara dirinya sendiri? Tak ada yang menjaganya. Tak ada yang bertanya, “Apa kabar, Anya?”

Lalu datanglah sakit kepala itu. Mendadak. Seperti pukulan yang datang tanpa aba-aba. Pandangannya berkunang, tubuhnya goyah, ia hampir jatuh saat sedang cuci piring.

Beberapa kali ia hampir pingsan. Tapi ia tetap diam. Tak ada yang perlu tahu. Toh, siapa juga yang bisa bantu?

Malam itu, ia duduk sendirian di depan rumah. Hujan gerimis lagi, seperti malam kelam yang dulu. Tapi kali ini tidak ada suara pintu, tidak ada bayang-bayang Om Rudi. Ia hanya duduk, memeluk lutut, menatap langit.

Dalam hatinya, suara kecil itu akhirnya terdengar jelas:

“Aku tidak bisa terus seperti ini.”

Ia tidak bisa. Tidak bisa melawan dunia sendirian. Tidak bisa terus bertahan di rumah yang nyaris runtuh. Tidak hanya bisa terus menunggu sewaktu-waktu Om Rudi bisa saja kembali. Tidak bisa mengorbankan masa depan untuk kenyataan yang mengguncang.

Anya sadar: satu-satunya cara untuk bertahan adalah pergi.

Bukan karena menyerah. Tapi karena dia ingin selamat—untuk dirinya, untuk ibu, untuk adik-adiknya. Ia mulai bertanya pada teman lama, mencari informasi di grup Facebook dan forum-forum kerja. Tentang pabrik di Batam. Tentang kos murah. Tentang kerja sebagai buruh—yang penting halal dan bisa mengirim uang.

Ia mulai menabung dari uang sisa bantu mengupas singkong di tetangga. Sedikit demi sedikit. Diam-diam.

Pergi bukan hal mudah. Tapi diam, jauh lebih menyakitkan.

Dan malam itu, Anya menatap langit, lalu berbisik:

“Ma, aku janji… aku akan buat kita keluar dari ini semua. Entah bagaimana caranya.”

Cerpen, Purnama Merindu (Episode 3) Cerpen, Purnama Merindu (Episode 3) Reviewed by Purnama Merindu on Juni 10, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.