Cerpen, Purnama Merindu (Episode 4)

Episode 4: Cahaya yang Tertatih

Tidak banyak yang tahu bahwa perjalanan Anya ke Batam hanya berbekal Rp600.000—uang pinjaman dari teman lama ayahnya yang iba melihat kondisi keluarga mereka.

Dari jumlah itu, Rp450.000 langsung habis untuk tiket pesawat. Sisanya Rp150.000—dan itu pun lenyap tak bersisa hanya untuk ongkos ke perusahaan, fotokopi dokumen, dan ongkos jalan ke sana-sini mencari tempat kerja. Tidak ada sisa, bahkan untuk sekadar makan malam.

Anya nyaris menyerah pada hari ketiga. Tapi ia tidak bisa pulang. Ia tidak boleh.

Dengan langkah berat, ia mengetuk rumah kontrakan seorang tetangga jauh yang lebih dulu merantau ke Batam. Alhamdulillah, perempuan itu memberinya sedikit uang pinjaman untuk bertahan seminggu—cukup untuk ongkos transport dan roti seadanya di pinggir jalan.

Hari kelima, sebuah keajaiban kecil terjadi.

PT Ciba Vision Batam, perusahaan produksi softlens internasional, sedang membuka lowongan. Anya nyaris tidak masuk kriteria tinggi badan, dan beberapa kali ditolak HR hanya karena hal itu. Tapi seorang petugas seleksi membaca nilai-nilainya di ijazah, terdiam sebentar, lalu mengarahkan Anya untuk wawancara langsung dengan manajer.

Wawancara itu bukan formalitas. Tidak ada pertanyaan "kenapa ingin bekerja", tapi malah soal matematika, logika, dan respons cepat. Anya menjawab semuanya dengan kepala dingin dan otak yang tajam.

Dua hari setelahnya, Anya dinyatakan diterima. Ia resmi menjadi buruh produksi di perusahaan besar itu. Ia bahkan ditempatkan di asrama karyawan.

Tapi itu bukan akhir penderitaan. Itu awal dari babak baru—babak yang lebih sunyi dan menyayat.

Masuk ke kamar asrama yang dihuni tiga orang lainnya, Anya menyadari sesuatu: ia satu-satunya Muslim. Dan ia datang tanpa apa-apa. Tidak membawa handuk. Tidak membawa mukena. Tidak membawa Al-Qur'an. Bahkan tidak ada sabun atau pasta gigi.

Ia tidur berselimutkan jaket, sholat dengan sarung pinjaman kantor—jika sempat. Tapi kebanyakan, ia hanya bisa menangis sambil duduk menghadap jendela, meminta kekuatan kepada Allah dalam hati.

Hari pertama kerja Anya bertepatan dengan 1 Ramadhan.

Di kamar itu, tidak ada orang yang sahur. Tidak ada yang bangun pagi. Tidak ada bunyi azan. Tidak ada tempat berbuka. Anya berpuasa hanya dengan segelas air dan roti tawar.

Seminggu kemudian, saat gaji mingguan dibayarkan, Anya menerima upah untuk satu minggu kerja. Jumlahnya tidak banyak, tapi cukup untuk membeli satu dari dua hal:
makanan untuk bertahan hidup sebulan...
atau alat ibadah untuk menyambung jiwanya yang hampir putus.

Anya memilih yang kedua.

Ia membeli mukena murah, sajadah tipis, dan sebuah Al-Qur'an kecil. Dengan itu, ia sholat dengan tenang untuk pertama kali sejak tiba di Batam. Ia menangis sujud lama, hingga lantai asrama basah oleh air matanya.

Bulan itu adalah bulan paling sulit.

Jika tak ada lembur, maka ia tidak makan. Karena makanan hanya tersedia saat lembur. Saat tidak ada jadwal lembur, Anya berpuasa—bukan karena Ramadhan, tapi karena perut memang harus dikosongkan.

Tapi dia tidak pernah mengeluh.

Ia bertahan. Menjalani hari demi hari, shift demi shift, dalam senyap dan air mata. Ia mulai dikenal oleh atasan karena ketekunan dan kerjanya yang bersih. Bulan kedua, ia mulai bisa membeli sabun dan handuk sendiri. Bulan ketiga, ia mengirim uang pertama ke kampung.

Uang itu ia selipkan dalam amplop. Tidak besar, hanya cukup untuk beli beras, dan ongkos kontrol ke puskesmas. Tapi di dalamnya, ia selipkan juga secarik kertas:

"Untuk Ibu dan adik-adik…
Maaf belum bisa pulang. Tapi insyaAllah, kita akan keluar dari ini semua.
Doakan Anya kuat di sini.
Anya sayang kalian."

Anya belum selesai berjuang. Tapi untuk pertama kalinya, ia tahu bahwa dirinya mampu berdiri sendiri. Dan itu adalah kemenangan kecil—di tengah luka yang masih tertinggal.

Cerpen, Purnama Merindu (Episode 4) Cerpen, Purnama Merindu (Episode 4) Reviewed by Purnama Merindu on Juni 11, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.