Cerpen, Purnama Merindu (Episode 5)

Episode 5: Luka yang Tidak Tampak


Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Anya tidak merasa dihantui oleh kelaparan, oleh tagihan, atau oleh suara napas di balik jendela.

Hidupnya kini teratur, sederhana namun bermakna. Ia bangun pukul lima pagi, menyiapkan diri, kadang hanya dengan roti dan teh panas. Jam tujuh masuk pabrik. Berdiri di lini produksi, menyusun softlens, mengecek kualitas, mengatur pengemasan.

Jam tujuh malam baru pulang. Setelah mandi dan makan malam, ia menulis jurnal kecil atau membaca Al-Qur’an, lalu tidur sebelum pukul sepuluh. Rutinitas itu ia jalani tanpa keluh, bahkan dengan semacam rasa syukur yang sunyi.

Anya mulai bisa membeli barang-barang kecil yang dulu hanya bisa ia impikan. Ia membeli handphone baru, lalu kamera saku karena sejak kecil ia suka mengambil gambar. Ia mulai membeli baju yang ia suka, sepatu yang nyaman, bahkan parfum ringan yang membuatnya merasa seperti dirinya sendiri.

Di asrama dan pabrik, ia jadi sosok yang dicintai.

Teman-temannya rata-rata lebih tua, dan memperlakukannya seperti si bungsu yang lembut dan manja. Anya adalah gadis baik hati, selalu siap membantu, tidak pernah bicara kasar. Di balik matanya yang tenang, orang-orang tidak pernah tahu badai seperti apa yang pernah melanda.

“Anya tuh kayak adik kandung,” kata Kak Lilis, seniornya yang sering mengantar makanan sahur.

Tapi babak baru sedang menunggu, dan kali ini bukan soal perut, bukan soal uang. Ini tentang hatinya sendiri.

Laki-laki mulai mendekatinya—ada yang sopan, ada yang malu-malu, ada juga yang terlalu berani. Tapi setiap senyuman, setiap pujian, setiap obrolan ringan itu hanya menghasilkan satu hal: kosong.

Anya mencoba tersenyum. Tapi dalam benaknya, setiap wajah lelaki yang baik sekalipun, akan perlahan-lahan berubah menjadi wajah Rudi—pamannya yang merenggut rasa percaya dan perasaannya terhadap lelaki. Wajah itu kembali di ingatannya, di mimpinya, dan kini bahkan dalam momen yang mestinya menyenangkan.

Dia mulai takut. Bukan pada lelaki-lelaki itu, tapi pada dirinya sendiri.

Ia sadar, hatinya telah mati rasa. Bahkan mungkin diam-diam ia mulai membenci laki-laki. Ketika temannya bercerita tentang pacar, ia hanya tersenyum kaku. Ketika ada yang mengajaknya makan bareng, ia menolak halus. Ketika satu rekan kerja memberanikan diri menyatakan perasaan, Anya hanya berkata:

“Maaf… aku belum sembuh.”

Ia sadar sepenuhnya bahwa ini bukan luka biasa. Luka ini membekas terlalu dalam. Membuatnya takut membuka pintu. Takut berharap. Takut merasa bahagia dengan lawan jenis. Bahkan saat ia mulai menyukai seseorang, otaknya sendiri akan membisikkan: "Semua lelaki itu sama."

Anya pun memilih menjauh dari hal-hal yang bisa menggoyahkan pikirannya. Ia sibuk bekerja, memperbaiki tabungan, belajar investasi kecil-kecilan. Ia mulai bergabung dengan komunitas sosial di mesjid sekitar pabrik, dan juga menjadi pengurus kegiatan kecil di asrama, seperti buka puasa bersama, pengajian, dan bakti sosial ke panti jompo.

Di sana, ia menemukan damai yang baru—damai karena bisa membantu, bisa tertawa dengan anak-anak yatim, bisa mengelap peluh ibu-ibu yang sepuh, dan bisa kembali merasa "berharga" tanpa harus dipandang dari tubuh atau kecantikannya.

Namun, setiap malam sebelum tidur, ia tahu satu hal:

“Aku belum selesai berdamai dengan diriku sendiri.”

Dan perjalanan itu, baru saja dimulai.

Cerpen, Purnama Merindu (Episode 5) Cerpen, Purnama Merindu (Episode 5) Reviewed by Purnama Merindu on Juni 12, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.