Cerpen, Purnama Merindu (Episode6)

Episode 6: Pertemuan yang Salah


Anya tidak pernah menyangka, pria yang selama ini hanya ia kenal sebagai Supervisor Kantor Pos Indoensia, tempat ia biasa mengirim uang ke kampung diam-diam memperhatikannya. Laki-laki itu ramah, berpenampilan rapi, usianya sekitar 30-an awal, dan tutur katanya sopan.

Beberapa kali saat Anya datang ke pos, mereka sempat berbincang ringan. Mulai dari antrian kiriman, cerita soal kampung halaman, sampai soal pekerjaan.

Dan suatu sore, lelaki itu—dengan senyum dan nada bicara yang dijaga baik-baik—mengajak Anya makan malam bersama.

Awalnya Anya ragu. Tapi dia juga merasa… mungkin sudah saatnya membuka diri. Memberi kesempatan. Toh, lelaki ini tidak memaksa, tidak kasar. Anya berusaha mengesampingkan suara kecil dalam dirinya yang berkata “jangan”.

"Mungkin aku terlalu curiga sama semua laki-laki… mungkin tidak semua sama."

Anya menyanggupi.

Malam itu mereka makan di restoran kecil, tidak jauh dari pusat perbelanjaan. Obrolan mereka cukup menyenangkan—tentang kerja, tentang masa kecil, tentang makanan favorit.

Tapi semua berubah saat mereka duduk di taksi dalam perjalanan pulang.

Anya duduk diam, memandangi lampu jalan. Laki-laki itu diam, lalu mulai berbicara lirih tentang betapa ia tertarik pada Anya, betapa ia ingin mengenal lebih jauh. Anya hanya tersenyum tipis—samar.

Lalu tanpa peringatan, tangan pria itu menggenggam tangan Anya erat-erat.

Awalnya Anya menahan. Tapi genggaman itu tidak melonggar—justru semakin kuat. Sentuhan itu terasa tidak nyaman. Tidak hangat. Tidak tulus. Ada hawa yang familiar di sana—hawa gelap dari masa lalu.

Dan dalam sekejap, wajah itu kembali muncul dalam ingatannya—Om Riko.

Napas Anya tercekat. Tangannya gemetar. Ia tidak mampu bersuara.

"Laki-laki semuanya sama!"
"Binatang!"

Dalam hati, ia menjerit. Tapi wajahnya dingin. Matanya mulai berair.

Segera ia berteriak kecil kepada sopir taksi, “Berhenti di depan toko itu!” tanpa menoleh pada pria di sampingnya. Sopir menghentikan mobil. Anya membuka pintu taksi dan berlari sekuat tenaga.

Ia bersembunyi di balik dinding toko baju yang sudah tutup. Menahan tangis. Menahan ketakutan. Ia tidak peduli apa yang terjadi pada pria itu—entah terkejut, entah marah, entah bingung.

Yang Anya tahu: dia tidak akan pernah bisa lagi percaya pada laki-laki.

Malam itu, ia tidak langsung pulang. Ia duduk di sudut mall, menghapus air mata yang terus mengalir. Di dadanya, perasaan benci tumbuh. Tidak hanya pada lelaki itu, tapi pada semua laki-laki.

“Kenapa semua lelaki seperti itu?”
“Kenapa mereka selalu menginginkan tubuh, bukan hati?”

Malam itu, sesuatu di dalam Anya berubah. Hatinya membeku. Tidak lagi luka—tapi mati rasa.

Ia tidak bercerita pada siapa pun. Tidak pada teman, tidak pada atasan. Ia hanya kembali ke asrama dan mengunci diri di kamar.

Sejak malam itu, ia tak lagi ingin membuka diri. Ia menolak setiap pesan basa-basi. Ia menghindar dari obrolan panjang dengan pria mana pun. Di ruang kerja, ia menjadi lebih sunyi. Senyumnya tetap ada, tapi bukan lagi karena ramah—melainkan sebagai benteng.

Anya tahu: dia telah berubah.

Dan dunia yang ia bangun dengan susah payah, kini harus ia rawat tanpa sentuhan siapa pun. Ia tidak tahu sampai kapan. Tapi yang pasti, ia hanya percaya pada dirinya sendiri… dan pada Tuhan.

Cerpen, Purnama Merindu (Episode6) Cerpen, Purnama Merindu (Episode6) Reviewed by Purnama Merindu on Juni 13, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.