Episode 10: Tidak Ada Lagi Ruang Untuk Cinta
Suatu sore, Anya sedang bermain ke kos temannya. Tiba-tiba dari jendela, dia melihat dua orang pria sedang membantu seorang perempuan pindahan. Mereka membawa kasur, rak, galon air, tertawa-tawa ringan di tengah peluh.
“Kayaknya bukan tipe yang gombal…”“Dia kelihatan kayak… baik banget.”
“Hai, ini Mas yang tadi bantu pindahan. Boleh kenalan lebih dekat?”
“Mungkin ini hadiah dari Tuhan setelah semua luka.”
Tapi, keindahan itu hanya bertahan beberapa hari. Tengah malam, telepon berdering. Nomor tak dikenal. Anya mengangkat dengan malas, hanya karena khawatir itu panggilan dari rumah. Tapi yang terdengar, suara perempuan menangis.
“Kamu ya Anya?! Kamu yang ganggu rumah tangga kami?! Sudah puas merusak?!”
Anya terdiam. Bingung.
“Tolong ya! Dia suamiku! Kau kira aku enggak tahu kalian chatting tiap malam?!”
Kata-kata itu seperti peluru bertubi-tubi menghantam.
Anya mencoba menjelaskan. Tapi tangisan dan teriakan itu tak mau mendengar.
“Kau pikir aku bodoh?! Sudah berbulan-bulan dia berubah! Ternyata karena perempuan seperti kamu!”
Padahal Anya bahkan belum seminggu mengenalnya.
Yang tersisa hanya perasaan dihina dan direndahkan.
“Kenapa aku selalu seperti ini?”“Kenapa aku selalu dicintai sebatas permainan?”
Anya menangis. Tapi tidak lama. Karena dia tahu, air mata tidak bisa memperbaiki luka.
Dan kali ini, dia berjanji:
“Cukup. Tidak ada lagi ruang untuk cinta yang datang dengan kebohongan.”
Bersambung....Episode 11

Tidak ada komentar: