Novel, Purnama Merindu (Episode 12)

Episode 12, Kembali Pulang


Hari itu, udara Batam terasa lebih panas dari biasanya. Tapi bukan karena matahari, melainkan karena pikiran Anya yang kacau. Surat-suratnya sudah selesai. Ia telah mendapatkan semua dokumen yang ia butuhkan untuk bisa pulang ke kampung halaman. Kontrak kerja akan ia akhiri lebih cepat, bukan karena ia kalah, tapi karena ia tahu waktunya di sini sudah cukup, batin dan raganya sudah lelah.

Sebelum berangkat ke bandara, ada satu hal yang ingin ia lakukan: bertemu sahabatnya. Sahabat yang dulu sangat dekat, tapi kini menjauh karena hidup mereka sudah tidak lagi berjalan di jalur yang sama. Anya pernah menjaga jarak, bukan karena benci, tapi karena ia sedih melihat sahabatnya berubah drastis sejak bergaul dengan lingkungan yang salah.

Namun ini perpisahan, dan ia tetap ingin berpamitan.

Anya mengetuk pintu kamar kos itu. Tak ada jawaban. Ia membuka perlahan, pintu tidak terkunci. Di dalam, sahabatnya terbaring di atas kasur. Masih mengenakan gaun pesta yang tipis dan terlalu terbuka. Matanya mengantuk, kepalanya berat. Aroma parfum bercampur alkohol masih menguap di ruangan sempit itu.

“Anya…?” gumamnya setengah sadar.

Anya hanya tersenyum. Sakit hati melihat sahabatnya seperti itu. Bukan soal bajunya, bukan soal diskotik yang jelas jadi tempat tujuannya semalam, tapi karena rasa kehilangan. Sahabatnya adalah satu-satunya orang yang dulu paling mengerti dirinya di Batam. Tempat ia pernah tertawa, menangis, dan bercerita. Tapi kini sahabat itu nyaris seperti orang asing.

"Aku pamit ya…" suara Anya bergetar. Tak ada pelukan. Hanya tatapan hampa. Tak sanggup ia menangis di sana.

Ia keluar kamar dengan hati sesak. Menuju bandara dengan taksi yang dipanggil lewat aplikasi, Anya duduk diam. Matanya menatap ke luar jendela, tapi pikirannya mengembara ke segala tempat ke rumah, ke ibunya, ke adik-adik yang menunggu, dan ke masa depan yang belum pasti.

Tiba-tiba, ponselnya berdering.

Nomor itu lagi.

Istri Mas Ganteng.

Perempuan itu menangis histeris lagi. Kali ini tak hanya menangis, ia menyalahkan Anya habis-habisan. Katanya Anya adalah penghancur rumah tangga orang, perempuan tak tahu malu, pelakor, perebut suami orang.

Padahal... Anya sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dengan laki-laki itu. Hanya satu kali, perkenalan yang bahkan tak sampai seminggu. Tapi luka yang ditinggalkan masih berbekas.

Dengan tenang, setenang yang bisa ia paksakan, Anya menjawab, “Saya bukan siapa-siapa suamimu. Tapi kalau kau ingin tahu siapa selingkuhannya, dia perempuan yang tinggal dekat asramaku. Yang dia bilang ke orang-orang adiknya.”

Diam. Di ujung telepon, suara isak itu membeku.

“Saya sudah cukup jadi tumbal kesalahan orang lain. Jangan pernah hubungi saya lagi.”

Anya menutup telepon. Dadanya sesak. Bukan karena kesedihan, tapi karena kelelahan. Mengapa hidupnya tidak bisa lurus-lurus saja? Mengapa ia selalu dipertemukan dengan orang-orang yang hanya memberinya luka?

Namun, dalam lelahnya itu, Anya tahu satu hal, ia tidak menyesal.

Ia telah belajar bertahan. Ia telah belajar memilih untuk tidak menjadi korban selamanya.

Hari itu, di dalam taksi yang melaju ke arah bandara, Anya tak menangis. Ia hanya diam… dan menggenggam harapan.

Bahwa di kampung halamannya nanti, hidup akan memberi ruang untuk ia bernapas. Bahwa luka tak akan selamanya berdarah. Bahwa Anya, akhirnya, kembali pulang.

Bersambung....Episode 13

Novel, Purnama Merindu (Episode 12) Novel, Purnama Merindu (Episode 12) Reviewed by Purnama Merindu on Agustus 15, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.