Yuna terbiasa menata hidup dengan rapi. Ia tampak bahagia di mata orang lain, tapi hanya dirinya yang tahu betapa kosong hati yang dibawanya setiap hari. Sejak menikah, hidupnya tak pernah benar-benar hangat. Ia memilih menikah bukan karena cinta, melainkan karena lelah patah hati. Dua lelaki yang pernah singgah di hidupnya sebelum itu hanya meninggalkan luka. Yang pertama cuek dan tidak bertanggung jawab, hanya memanfaatkan uang dan perhatiannya. Yang kedua begitu posesif, egois, dan membuatnya tercekik selama enam tahun. Putus dengan lelaki itu membuatnya patah, tapi juga marah. Di tengah kerapuhan, ia mengambil keputusan gegabah menikah dengan seorang kenalan lama yang dulu sempat menyukainya, meski ia sendiri tak benar-benar mengenalnya.
Pernikahan itu pun terjadi, tapi bukannya bahagia, Yuna justru terjebak dalam kehampaan. Suaminya seorang introvert yang dingin. Tidak ada pelukan, tidak ada belaian, tidak ada kebersamaan yang hangat. Hanya interaksi seperlunya, kadang ditambah amarah yang meledak tak tentu arah. Yuna merasa terjebak di rumah yang seharusnya jadi tempat pulang.
Hingga suatu malam, di tengah rasa sepi, ia membuka TikTok. Jarinya menggulir layar tanpa arah sampai berhenti pada sebuah siaran langsung. Seorang pria dengan senyum lembut, wajah teduh, dan sapaan hangat. Namanya Yuto. Yuna terpaku lebih lama dari biasanya. Ada yang berbeda dari lelaki itu. Ia ramah, tidak pilih-pilih teman, tidak seperti spender lain yang sering menyombongkan diri. Yuto menjaga privasinya dengan ketat, jarang bercerita banyak, bahkan ketika ditanya tentang pekerjaannya ia hanya menjawab santai, “Jaga parkir.”
Yuna tersenyum mendengar itu. Entah mengapa, ia merasa nyaman dengan kerendahan hati Yuto. Sejak malam itu, ia selalu mencoba hadir ketika Yuto live, meski hanya sebentar. Kadang ia menemani hingga layar gelap menandakan siaran berakhir.
Namun, kebersamaan kecil itu tiba-tiba menghilang. Yuto berhenti muncul. Tidak ada live, tidak ada tanda-tanda online. Yuna merasa kehilangan yang aneh, kehilangan seseorang yang bahkan tidak benar-benar ia kenal di dunia nyata. Ia bertanya pada siapa pun yang mungkin tahu, tapi tidak ada jawaban. Waktu bergulir, bulan berganti, kerinduan itu semakin menumpuk.
Sampai akhirnya, tanpa diduga, Yuna yang sedang live melihat nama itu kembali muncul, Yuto. Ia sedang live lagi. Hatinya berdebar. Tanpa berpikir panjang, Yuna mengirimkan undangan live bareng, dan yang mengejutkan, Yuto menerimanya. Wajah itu kembali hadir di layar, senyum itu kembali menyapanya. Hanya sebentar, tapi Yuna merasa hatinya penuh. Ia bahkan meminta izin untuk merekam momen itu, sebuah kenangan kecil yang tak ternilai.
Dari situ, percakapan mereka berlanjut lewat chat. Awalnya ringan, lalu perlahan makin dalam. Suatu kali Yuna bercerita tentang seorang streamer yang selalu menantangnya untuk PK challenge. Yuto mendengarkan dengan sabar, lalu menyarankan agar Yuna menerima saja tantangan itu. Tapi Yuna menolak. Bukan karena takut kalah, tapi karena tidak ingin Yuto salah paham. Ia tidak ingin Yuto berpikir bahwa ia dekat hanya demi gift atau uang. Baginya, perasaan ini terlalu tulus untuk dicampuri hal-hal seperti itu.
Yang Yuna minta hanyalah satu: kehadiran Yuto di malam ulang tahunnya. Tidak lebih. Dan Yuto memenuhi permintaan itu.
Malam itu, saat Yuna melakukan PK match bersama sahabat-sahabatnya, Yuto hadir. Kehadirannya adalah kado terindah yang pernah Yuna terima. Hatinya penuh. Wajahnya berseri sepanjang malam.
Setelah itu, Yuto kembali jadi sosok yang sulit ditebak. Kadang muncul, kadang menghilang. Kerinduan yang tertahan membuat Yuna mencari cara lain. Ia membuka akun Yuto, menonton setiap video yang ia buat, bahkan yang lama sekalipun. Ia memberi tanda suka satu per satu, seolah setiap like itu adalah bisikan lirih: “Aku ada, aku rindu.”
Tanpa Yuna sadari, Yuto memperhatikannya. Hingga suatu malam, saat Yuna hendak tidur, sebuah pesan masuk.
Jantung Yuna berdegup kencang. Ia menunggu, hingga kalimat berikutnya muncul.
“Apakah ciqgu… menyukai saya?”
Dunia Yuna seakan berhenti. Pipinya panas, wajahnya memerah. Ia tidak pernah menyangka Yuto akan bertanya. Rahasia yang ia simpan rapat-rapat kini terbuka. Namun, untuk sekali ini, Yuna tidak ingin bersembunyi lagi. Dengan polos, ia mengetik jawaban yang sederhana namun penuh keberanian:
“Iya.”
Dan sejak malam itu, hari-harinya berubah. Yuto tidak menjauh, malah semakin dekat. Mereka saling mengisi, saling hadir, seolah menciptakan dunia baru yang hanya ada untuk mereka berdua.
Sejak malam pengakuan itu, dunia Yuna berubah. Ada ruang baru di hatinya yang terisi perlahan oleh kehadiran Yuto. Ia tidak lagi sekadar menonton live TikTok demi mengusir sepi, karena kini setiap interaksi dengan Yuto membawa makna berbeda. Mereka mengobrol hampir setiap hari, kadang tentang hal-hal remeh, kadang tentang hal-hal serius. Yuto punya cara berbicara yang lembut, dewasa, dan selalu menenangkan. Yuna yang terbiasa merasa sendirian kini menemukan tempat pulang, meski hanya lewat layar kecil.
Lama-lama Yuna menyadari, Yuto bukanlah sosok sederhana seperti yang ia perlihatkan di depan orang-orang. Satu demi satu rahasia kecil tentang dirinya terbuka. Ternyata ia mapan, berpendidikan tinggi, memiliki pekerjaan tetap yang sangat baik. Sampingannya menjadi dosen, penulis, produser, bahkan pencipta lagu. Koleksi lagunya banyak, dan hampir semuanya ia simpan untuk dirinya sendiri. “Hanya hobi,” katanya suatu kali, “aku tidak ingin terkenal.”
Setiap kali Yuto mengungkapkan hal baru tentang dirinya, Yuna merasa seperti mendapat hadiah. Hidupnya penuh kejutan indah, seolah Tuhan menebus luka-luka lama dengan menghadirkan sosok ini. Yuna semakin kagum. Rasanya seperti mimpi, bisa sedekat itu dengan seseorang yang begitu luar biasa, tetapi tetap sederhana dalam sikap.
Di sisi lain, Yuto pun ternyata pernah merasakan pahitnya cinta. Masa mudanya penuh patah hati, bahkan pernah ditinggal menikah oleh orang yang ia cintai. Rumah tangganya pun tidak selalu baik-baik saja. Ia sempat berpisah rumah selama enam tahun dengan istrinya, lalu mencoba menyatukan kembali. Namun, Yuna tidak pernah benar-benar tahu seperti apa keadaan rumah tangga Yuto saat ini. Bahagia atau tidak, itu bukan urusannya. Ia tak pernah bertanya, tak pernah menuntut. Ia hanya ingin menikmati kebersamaan yang ada, tanpa merusak apa pun.
Bagi Yuna, Yuto adalah dunianya yang baru. Ia membiarkan dirinya egois kali ini, membiarkan hatinya ditempati Yuto, seolah-olah Yuto bukan milik siapa-siapa. Namun, dalam diam, ia tetap menjaga batas, tidak ingin menjadi perusak rumah tangga. Ia hanya mencintai dalam senyap, dengan tulus.
Hari-hari mereka manis, meski kebanyakan hanya lewat layar. Sesekali Yuto membuat lagu khusus untuk Yuna. Liriknya sederhana, tapi hangat, penuh perasaan yang membuat Yuna menangis haru. Ia tidak pernah membayangkan ada seseorang yang mau menuliskan lagu hanya untuk dirinya. Dalam pelukan kata-kata itu, Yuna merasa aman, merasa dicintai.
Hingga suatu hari, Yuto mengabari sesuatu yang membuat jantung Yuna berdetak lebih cepat. “Aku akan ke kotamu,” tulis Yuto. “Mau bertemu?”
Yuna terdiam cukup lama sebelum membalas. Ada rasa takut, gugup, dan bahagia bercampur menjadi satu. “Tapi… di mana kita bisa bertemu?”
“Hotel saja,” jawab Yuto hati-hati. “Aku tidak ingin membuatmu salah paham. Aku bukan lelaki sembarangan. Kalau kamu tidak nyaman, kita tidak usah.”
Yuna tersenyum kecil membaca pesannya. Ia tahu Yuto berusaha meyakinkannya, menjaga agar dirinya tetap merasa aman. Tapi justru itulah yang membuat Yuna semakin mantap. “Di hotel saja,” balasnya akhirnya. “Aku percaya.”
Hari yang ditunggu pun tiba. Yuna berangkat dengan hati berdebar, setiap langkah terasa berat sekaligus ringan. Ia tidak peduli harus apa nanti, yang ia tahu hanyalah bahwa ia akan bertemu dengan lelaki yang mengisi ruang hatinya selama ini. Ketika pintu kamar hotel mewah itu terbuka, Yuna hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Yuto berdiri di sana, mengenakan kaos sederhana, tetapi dengan senyum yang membuat seluruh ruangan terasa hangat. “Kamu spesial,” katanya lirih, “itu sebabnya aku ingin semuanya berbeda. Bukan tempat biasa, bukan pertemuan biasa.”
Yuna menahan air mata yang nyaris jatuh. Ia masuk, dan untuk pertama kalinya mereka berada di ruang yang sama, tanpa layar di antara mereka. Tidak ada lagi sekat sinyal, tidak ada lagi jeda jaringan. Hanya ada Yuto, nyata, di hadapannya.
Pelukan pertama itu membuat waktu berhenti. Yuna merasa dadanya penuh, tubuhnya ringan, seolah semua kesepian yang ia kumpulkan bertahun-tahun larut dalam dekap Yuto. Dan di hotel mewah itu, mereka akhirnya saling melepas rindu, saling meneguhkan, saling merayakan cinta yang mereka sembunyikan dari dunia.
Bagi Yuna, itu adalah hari paling bahagia dalam hidupnya. Untuk sekali ini, ia merasa utuh. Untuk sekali ini, hatinya percaya bahwa cinta bukan hanya dongeng. Ia tidak tahu bagaimana kisah mereka akan berakhir, tapi ia tahu satu hal Yuto telah mengisi bagian terdalam hatinya yang paling sunyi
Sejak pertemuan pertama itu, Yuna merasa seperti hidup di dalam mimpi. Hotel yang dipilih Yuto bukan sekadar tempat bertemu, tapi jadi ruang rahasia di mana dunia luar seolah berhenti. Di sana mereka bicara santai, tanpa batas, seolah sudah lama saling mengenal.
Dalam obrolan itu, Yuto tiba-tiba menyinggung sesuatu yang membuat Yuna tercengang. Dengan nada datar tapi penuh percaya diri, ia berkata, “Aku sebenarnya suka bikin lagu. Koleksiku banyak. Ada yang sudah jadi musik utuh, ada yang masih setengah jalan.”
Yuna terdiam sejenak, menatapnya dengan heran. “Serius? Kamu bikin lagu? Jadi… kamu musisi juga?”
Yuto tersenyum tipis, mengangkat bahu seolah itu hal sepele. “Ya, semacam itulah. Aku lebih sering di balik layar, jadi produser, kadang ikut nulis. Dari dulu aku memang hobi musik, tapi orang jarang tahu karena aku tidak pernah mau tampil. Aku lebih suka orang lain yang nyanyi, aku cukup menikmati dari balik layar saja.”
Bagi Yuna, pengakuan sederhana itu seperti kejutan manis. Ia tak menyangka, sosok yang dikenalnya ramah dan rendah hati di TikTok ternyata menyimpan dunia yang luas dan penuh karya. Rasa kagumnya bertambah bukan karena titel “musisi”, tapi karena Yuto terlihat begitu natural menceritakan dirinya, tanpa sedikit pun kesombongan.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita?” tanya Yuna penasaran.
Yuto terkekeh. “Buat apa? Toh aku nggak butuh terkenal. Musik itu buatku hobi, juga terapi. Ada banyak lagu yang kusimpan di hard disk, mungkin suatu saat aku buka lagi. Tapi aku sempat kehilangan semangat, karena ada orang-orang dekat yang bikin aku patah hati di dunia itu.”
Nada suaranya santai, tapi Yuna bisa menangkap luka yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Ia tidak banyak bertanya, hanya memberi senyum menenangkan. Sejak hari itu, Yuto tidak akan pernah sama di matanya. Bukan hanya pria ramah di TikTok, tapi seseorang yang menyimpan dunia rahasia yang begitu indah dan perlahan mengizinkannya untuk masuk.
Sejak percakapan santai di hotel itu, dunia Yuto yang tersembunyi perlahan terbuka di depan Yuna. Bukan dengan pernyataan besar, bukan pula dengan pengakuan dramatis, tapi melalui pesan-pesan kecil yang dikirimkan di sela-sela hari mereka.
Suatu malam, Yuna menerima sebuah file audio. Tanpa kata-kata panjang, hanya pesan singkat: “Aku nemu ini di hard disk lama. Dulu aku bikin waktu masih kuliah. Mau coba dengar?”
Yuna segera memasang earphone. Denting piano yang sederhana tapi penuh perasaan mengalun, lalu masuk petikan gitar yang jernih. Sebuah lagu cinta, tapi Yuna bisa merasakan emosi yang begitu dalam dari setiap nadanya. Ia menutup mata, tersenyum, lalu menulis balasan: “Ini indah sekali. Kenapa kamu sembunyikan selama ini?”
Yuto membalas dengan emotikon tertawa. “Karena buatku ini cuma hobi. Koleksi pribadi. Tapi entah kenapa, sejak ngobrol sama kamu, aku ingin buka lagi semua itu. Dan ternyata banyak sekali lagu-lagu yang aku lupa pernah kuciptakan.”
Hari-hari berikutnya, hampir setiap waktu luang Yuto mengirimkan satu demi satu musik yang ia temukan. Ada yang sudah matang dengan aransemen lengkap, ada yang hanya berupa draft sederhana. Yuna selalu jadi pendengar pertama, selalu memberi komentar jujur, kadang kagum sampai kehabisan kata.
“Aku seperti menemukan harta karun,” tulis Yuto suatu malam. “Dan kamu yang bikin aku bersemangat membukanya lagi.”
Yuna membaca kalimat itu berulang kali, dadanya bergetar aneh. Ia tidak membalas panjang, hanya menuliskan: “Aku senang bisa jadi bagian kecil dari duniamu.” Tapi hatinya tahu, hubungan mereka sudah melampaui sekadar teman bicara.
Semangat Yuto yang lama padam benar-benar hidup kembali. Ia bukan hanya membuka file-file lama, tapi mulai merapikannya. Ia punya semua perangkat profesional yang dibutuhkan: studio kecil di rumah, perangkat lunak musik lengkap, bahkan akses ke agregator dan perusahaan publishing miliknya sendiri. Semua itu membuatnya mudah mendaftarkan lagu ke label, mendistribusikan ke platform musik, hingga mengunggah ke kanal YouTube pribadinya.
Yuna menyaksikan semua itu dengan kagum. Setiap kali Yuto membagikan kabar, seperti “Lagu ini sudah naik di Spotify,” atau “Aku baru saja unggah yang ini ke YouTube,” Yuna selalu jadi orang pertama yang mendengar, menonton, dan memberi dukungan.
Namun yang paling menyentuh Yuna bukanlah kehebatan Yuto sebagai musisi atau produser, melainkan sikapnya yang tetap sederhana. Yuto tidak pernah menyombongkan apa pun. Ia hanya tersenyum setiap kali Yuna memujinya, seakan semua itu tidak berarti apa-apa dibandingkan momen sederhana mereka berbagi cerita.
Dan dalam hati Yuto sendiri, ada rasa yang tumbuh semakin kuat. Ia sadar, Yuna berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui. Yuna tidak pernah menuntut, tidak pernah meminta apa pun. Bahkan saat ia tahu Yuto punya dunia musik yang bisa menghasilkan uang besar, Yuna tidak pernah mengaitkan itu dengan dirinya. Ia hanya mendukung sepenuh hati.
Bagi Yuto, itu adalah hal langka.
Di tengah banyak orang yang mendekatinya karena apa yang ia punya, Yuna justru menerima apa adanya bahkan bagian rapuhnya sekalipun. Dan dari situlah Yuto semakin jatuh pada Yuna, meski ia jarang mengatakannya dengan kata-kata. Baginya, sikap Yuna sudah cukup membuatnya yakin perempuan ini benar-benar tulus.
Setiap kali Yuto mengirimkan sebuah lagu, Yuna merasa seperti sedang membuka sebuah kotak rahasia yang hanya dia yang diberi kuncinya. Bukan sekadar melodi, bukan sekadar lirik tetapi serpihan hidup, potongan kenangan, juga rasa-rasa lama yang pernah Yuto simpan begitu dalam.
Ada lagu yang bercerita tentang manisnya cinta pertama, sederhana tapi hangat. Ada lagu yang kelam, penuh nada minor yang mengalun seperti hujan deras di tengah malam. Ada pula yang getir marah, kecewa, namun tetap indah dalam cara Yuto merangkainya.
Yuna mendengarkan dengan hati penuh ketenangan. Ia tidak pernah marah, apalagi cemburu. Justru ia merasa beruntung, karena dari lagu-lagu itu, ia bisa mengenal sisi-sisi Yuto yang tak pernah diucapkan dengan kata-kata. Seakan setiap lirik adalah pintu kecil yang membiarkannya mengintip isi jiwa Yuto.
“Kalau aku harus cemburu,” bisik Yuna dalam hati setelah mendengar salah satu lagu yang jelas ditulis saat Yuto sangat mencintai seseorang, “bukan pada masa lalu… tapi pada ‘ibu negara’ yang kini menemaninya setiap malam.”
Namun Yuna bukanlah perempuan yang egois. Ia tahu, hidup tidak selalu bisa dimiliki sepenuhnya. Ia tahu, Yuto punya ruang-ruang yang tak boleh ia masuki, ada tanggung jawab yang tak boleh ia sentuh. Tapi itu tidak membuatnya mundur.
Ia memilih untuk tidak menaruh hatinya pada hal-hal yang akan menyakiti, melainkan pada apa yang bisa membuat mereka berdua tetap tersenyum.
Baginya, masa lalu Yuto adalah bagian yang membentuknya hari ini. Dan ia jatuh cinta bukan pada bayangan masa lalu, melainkan pada sosok Yuto yang kini hadir di sisinya dengan senyum yang lembut, dengan tutur yang hangat, dengan jiwa yang penuh cerita.
Suatu malam, setelah Yuto kembali mengirim sebuah lagu lama yang ia temukan di folder musiknya, ia menuliskan pesan singkat:
“Lagu jelek. Menurutmu dapat nilai berapa?”
Yuna tersenyum membaca kalimat itu. Ia sudah terbiasa dengan kerendahan hati Yuto setiap kali berbicara tentang karyanya. Tapi justru itulah yang membuat Yuna semakin kagum di balik kemampuannya yang luar biasa, Yuto tetap sederhana, tetap merendah.
Dengan jujur Yuna membalas, “Kamu salah kalau bilang jelek. Suaramu merdu, pilihan musikmu selalu tepat, dan setiap lagu yang kamu kirim punya warna yang berbeda. Aku mendengarnya bukan cuma dengan telinga, tapi dengan hati. Dan semuanya indah.”
Yuto sempat terdiam beberapa menit sebelum membalas. “Kamu serius? Aku sendiri kadang merasa biasa saja dengar suaraku.”
Yuna menekankan kembali, “Aku tidak menggombal, Yuto. Itu jujur dari aku. Aku bahkan heran bagaimana mungkin satu orang bisa menyimpan begitu banyak nada berbeda, seakan kamu punya ribuan wajah di dalam musikmu.”
Di seberang sana, Yuto tersenyum, meski Yuna tidak melihatnya. Balasannya hanya singkat:
“Kalau begitu, selamat menikmati ya”
Dan begitu seterusnya. Malam demi malam, lagu yang Yuto kirim berubah menjadi harta karun yang semakin mempererat mereka, dengan Yuna selalu menjadi pendengar paling setia dan paling jujur.

Tidak ada komentar: