Novel, Purnama Merindu (Episode 13)

 Episode 13 — Satu Pintu yang Terbuka


Anya kembali menapakkan kaki di tanah kelahirannya, Padang. Udara pagi di kampung halamannya terasa lebih dingin, namun menenangkan. Kali ini, bukan untuk liburan atau pelarian tapi untuk mencoba membuka lembaran baru, kuliah.

Mimpi lama yang tertunda kembali menyala. Ia ingin menjadi guru. Tapi ada rasa pesimis yang menyelimutinya. Sudah dua tahun ia meninggalkan bangku sekolah, mengganti buku pelajaran dengan mesin produksi dan ritme keras buruh pabrik. Otaknya seperti tumpul, ingatannya tentang rumus dan teori tak lagi setajam dulu.

Herjun, sahabat masa kecilnya, menyambut kembalinya Anya dengan semangat yang membuncah. Ia menjadi teman belajar, pengingat jadwal, sekaligus motivator yang tak pernah bosan menyemangati Anya. Herjun berharap, mereka bisa kembali menapaki hari-hari bersama, kali ini sebagai sesama mahasiswa.

Namun tidak semua orang seoptimis Herjun. Lingkungan sekitar mulai berbisik: "Sudah lama nggak belajar, mana bisa lulus?" Mereka membandingkan Anya dengan orang-orang yang ikut bimbel bertahun-tahun tapi tetap gagal masuk perguruan tinggi. Anya mendengarnya, dan dalam diam, ia menunduk. Tapi tidak menyerah.

Hari ujian tiba. Anya mengenakan baju putih dan kerudung biru tua. Ia melangkah masuk ke ruang ujian dengan tangan dingin. Di tengah waktu ujian yang menegangkan, dari luar jendela, ia melihat sosok Herjun memberi kode dari pintu. Herjun mengangkat kertas kecil dan memberi isyarat, mencoba menunjukkan jawaban.

Anya hampir tertawa, bukan karena lucu, tapi karena sedih dan terharu. Betapa niat sahabatnya itu tulus, meski konyol. Ia menggeleng pelan, lalu kembali menunduk pada soal ujian. "Soalnya juga diacak, Jun… tapi makasih," gumamnya dalam hati.

Selesai ujian, Anya langsung pulang, lalu mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Ia tak yakin dengan jawabannya tadi. Ada keyakinan dalam dirinya, jika gagal, maka Batam akan kembali jadi tempat tujuannya. Di sana ia pernah terluka, tapi juga bertahan. Ia sudah bersiap menghadapi apa pun hasilnya.

Beberapa hari kemudian, saat senja baru turun, telepon dari Herjun masuk.

Suaranya berat. “Anya… kamu lulus. Selamat ya.”

Anya tercekat. Antara percaya dan tidak. Tapi sebelum ia sempat bereaksi, Herjun menambahkan lirih, “Aku nggak lulus.”

Hening. Tak ada kata yang cukup untuk menyembuhkan kecewa sahabatnya. Tapi Anya mencoba.

“Jun, mungkin bukan takdirmu jadi guru,” katanya lembut. “Kamu itu tulang punggung keluarga. Mungkin Allah pengin kamu jadi lebih dari sekadar guru. Yang lebih luas manfaatnya, dan rezekinya juga lebih banyak.”

Herjun tertawa kecil, masih dengan sisa kesedihannya. “Kalau kamu?”

“Aku? Aku perempuan. Cocok jadi guru. Aku lebih suka tempat yang tenang, nggak cocok kerja lapangan. Mungkin ini jalannya masing-masing.”

Mereka menutup telepon dalam keheningan yang tak hampa. Ada ketegaran yang menguatkan, dan persahabatan yang tetap hangat.

Beberapa minggu kemudian, Anya resmi menjadi mahasiswa baru. Ia mengenakan almamater barunya dengan penuh kebanggaan. Mimpinya yang sempat nyaris redup, kini menyala kembali. Meskipun jalannya berliku, penuh luka dan air mata, akhirnya satu pintu terbuka.

Di bawah langit Padang yang cerah, Anya menatap gerbang kampusnya sambil berkata dalam hati:

"Terima kasih, hidup. Aku tahu, kamu sedang membentukku jadi perempuan kuat. Dan aku siap."


Bersambung, Episode 14

Novel, Purnama Merindu (Episode 13) Novel, Purnama Merindu (Episode 13) Reviewed by Purnama Merindu on Agustus 15, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.