Episode 14: Ketika Cinta Menjadi Luka yang Tak Berdarah
Hari-hari Anya sebagai mahasiswa baru terasa seperti lembaran bersih yang akhirnya bisa ia tulis sendiri, dengan tinta perjuangan dan cita-cita yang tertunda. Langit kampus terasa luas. Ia berjalan dengan kepala tegak, membawa mimpi dan luka-luka lama yang pelan-pelan mulai sembuh oleh harapan baru.
Di antara lorong-lorong fakultas, ia mulai dikenal. Kecerdasannya bersinar. Ia aktif, berani, dan percaya diri. Banyak senior memperhatikannya. Beberapa bahkan terang-terangan menunjukkan rasa kagum. Tapi Anya memilih tetap setia pada Yuda.
Ya, Yuda. Laki-laki dari masa lalunya yang kini kembali menjadi bagian dari hidupnya. Mereka memutuskan melanjutkan kisah yang pernah retak, seolah berharap bisa memperbaiki yang dulu hancur. Tapi kenyataannya, tak ada yang berubah. Yuda tetap laki-laki yang tak pernah benar-benar hadir. Tak punya rencana, tak punya semangat, dan tak pernah tahu bagaimana mencintai dengan cara yang sehat.
Anya mulai mengenal keluarganya. Tiga orang adik perempuan Yuda yang kasar dan tak ramah. Sekali waktu, Anya dimaki hanya karena menerima telepon dari nomor yang ternyata milik salah satu adik Yuda. Yuda yang meminjam ponsel itu untuk menelponnya, tapi yang jadi sasaran makian justru Anya. Ia diam. Tak tahu harus marah pada siapa. Dunia macam apa yang sedang ia jalani?
Di kampus, cinta datang dari berbagai arah. Tapi Anya menutup pintu hatinya. Ia ingin tetap setia. Sampai akhirnya tubuhnya menyerah. Ia jatuh sakit tifus, disertai maag kronis. Parah. Ia terkapar, lemah, nyaris tak bisa bangun dari tempat tidur. Tapi Yuda, orang yang ia anggap kekasih, tak sekalipun datang. Tak ada kabar, tak ada peduli. Hanya sunyi.
Di tengah sakit dan kecewa, Anya akhirnya memutuskan. Ia menawarkan perpisahan, dan dengan mudah Yuda menyetujuinya. Mungkin ia pikir Anya hanya menggertak. Tapi kali ini Anya serius. Ia memilih pergi.
Tak lama kemudian, cinta baru datang.
Seorang senior, ketua himpunan mahasiswa. Sosok karismatik yang disukai banyak orang. Fisik mereka serasi, keduanya cerdas, aktif, dan sama-sama disegani dosen. Bersama lelaki ini, Anya merasa hidupnya mulai lurus kembali. Ia bahagia. Atau, setidaknya, ia pikir ia bahagia.
Perlahan, cinta ini menunjukkan sisi lain. Lelaki itu posesif. Emosinya naik turun. Sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit ancam putus. Tapi selalu kembali. Dan setiap kali ia kembali, Anya menerima. Begitu terus. Dalam hubungan itu, Anya selalu menjadi pihak yang minta maaf. Ia selalu salah, tak pernah cukup.
Anya mencintainya dengan luar biasa. Ia membantu tugas-tugas kuliahnya. Membuat makalah, memperbaiki skripsi. Lelaki itu, yang dulunya tak pernah menyentuh IPK 3, sejak bersama Anya selalu cumlaude. Tapi tak ada satu pun orang tahu, siapa di balik kesuksesannya.
Lima tahun Anya bertahan. Berat badannya menyusut. Senyumnya memudar. Tapi ia tetap tinggal, berharap cinta itu akan berubah menjadi lebih sehat. Hingga akhirnya, lelaki itu melanjutkan S2 ke Bandung. Mereka harus menjalani hubungan jarak jauh.
Sebelum keberangkatan, Anya berkata:
"Kalau kamu masih suka memutuskan sepihak saat kita LDR, aku janji kali ini aku nggak akan balik lagi."
Tapi dalam hati, ia tak yakin bisa menepatinya. Sebab ia masih terlalu sayang.
Beberapa bulan setelahnya, Anya lulus. Ia mulai bekerja di sebuah perusahaan distributor. Hidupnya perlahan mulai stabil. Tapi kekasihnya justru makin gila cemburu. Anya dikelilingi rekan kerja laki-laki, hal yang membuat si dia curiga, marah, dan sering mendiamkan Anya berhari-hari.
Puncaknya, saat itu Anya pulang istirahat ke kos, meninggalkan ponsel di kantor dalam kondisi mengecas. Ketika ia kembali, ada puluhan panggilan tak terjawab. Dan satu pesan:
"Kita putus. Jangan cari aku lagi."
Anya menatap layar ponsel lama sekali. Diam. Lalu pelan-pelan, senyum pahit itu muncul di wajahnya. Ia sudah bisa menebaknya. Bukan pertama kali. Tapi kali ini, entah kenapa rasanya berbeda.
Ia tidak menangis. Tidak langsung.
Ia memblokir nomornya. Menghapus semua jejak. Lalu duduk di pojok kamar. Menangis diam-diam, seperti anak kecil kehilangan arah.
Ia menangis bukan karena cinta yang pergi, tapi karena lelah. Lelah mencintai orang yang salah.
Lelah berharap pada cinta yang hanya menyakitkan.
Dalam hati, ia berkata:
"Aku bukan burung yang bisa dikurung, bukan pula boneka yang bisa diatur. Aku manusia. Aku perempuan. Dan aku berhak bahagia."
Bersambung ...Episode 15
Tidak ada komentar: