Episode 15: Saat Cinta Tidak Lagi Layak Diperjuangkan
Setelah segalanya, Anya memilih untuk selesai.
Ia membakar semua foto, ratusan di antaranya yang dulu ia cetak dengan penuh cinta, satu per satu menjadi abu, larut dalam udara malam bersama isak yang tertahan di tenggorokan. Api itu kecil, tapi cukup panas untuk membakar kenangan yang tak seharusnya tinggal. Di tengah asap tipis, ia berbisik pada dirinya sendiri:
"Cukup. Sampai di sini."
Ia menutup semua akun media sosial, memutus semua jejak, bahkan mengganti nomor ponsel. Dunia digital tempat kenangan bersarang, ia bersihkan sampai bersih. Tak ingin satu pun pintu terbuka untuk masa lalu kembali masuk. Anya ingin mati dalam bentuk lamanya dan lahir sebagai seseorang yang baru.
Ia tak pernah menyangka, cinta bisa begitu menyakitkan.
Bahwa cinta yang dulu ia perjuangkan sampai titik darah penghabisan, ternyata adalah luka berkepanjangan yang tak bisa disembuhkan oleh waktu.
Sementara itu, di kota lain, Bungsu mulai hancur pelan-pelan.
Ia tak bisa tidur. Tak bisa makan. Tak bisa fokus kuliah.
Ia pulang ke Padang. Bukan untuk berlibur. Tapi untuk mencari sisa-sisa harapan. Dia menangis, hal yang jarang, hampir mustahil ia lakukan. Tapi air mata itu jatuh juga, di rumah Anya, dengan suara serak dan tubuh yang lelah.
"Maafkan aku, Anya... Aku sadar aku salah. Aku kehilangan arah tanpamu..."
Anya berdiri di hadapannya, diam. Wajahnya tidak lagi lemah, tidak lagi penuh harap, tidak lagi seperti dulu yang selalu luluh. Wajah itu kini milik perempuan yang telah melalui badai dan memutuskan untuk tidak mau tenggelam lagi.
"Bungsu..." suaranya tenang, nyaris tanpa getar.
"Aku bukan Tuhan. Tapi kalau kamu minta maaf, aku maafkan... Tapi jangan berharap aku kembali."
Bungsu menunduk. Suaranya mulai gemetar, tapi ia mencoba bertahan.
"Aku nggak bisa hidup tanpamu. Semua salahku, aku sadar. Tapi tolong beri aku kesempatan..."
Anya menghela napas panjang. Pandangannya tajam, tapi tidak marah.
"Kesempatan?"
Ia tersenyum tipis, getir.
"Berapa banyak kesempatan yang sudah aku beri? Aku bahkan pernah menolak banyak laki-laki demi kamu. Aku bertahan waktu kamu putuskan aku hampir tiap bulan. Aku diam saat kamu marah karena alasan sepele. Aku peluk kamu waktu kamu jatuh sakit, aku tulis skripsi kamu, aku bantu kuliah kamu sampai kamu lulus. Tapi apa balasanmu?"
Bungsu tak menjawab. Hanya diam.
Anya melanjutkan, suaranya mulai bergetar, bukan karena ingin kembali, tapi karena luka yang sudah terlalu dalam.
"Aku hidup dengan perasaan salah. Selalu salah. Bahkan saat aku benar. Aku menyesuaikan diriku jadi versi yang kamu mau. Tapi kamu? Kamu tidak pernah belajar mencintai dengan dewasa."
Matanya berkaca-kaca. Tapi dia tetap berdiri tegak.
"Aku sudah terlalu lelah, Bungsu. Kamu bilang kamu nggak bisa hidup tanpaku. Tapi kamu juga nggak bisa mencintaiku dengan sehat. Sekarang aku sadar, bukan aku yang butuh kamu... Tapi kamu yang butuh seseorang buat mengisi kekosonganmu."
Bungsu menangis. Tapi tak ada lagi yang bisa dia lakukan.
Perempuan yang selama ini selalu ia anggap akan terus tinggal, akhirnya memilih pergi. Benar-benar pergi.
Anya mengakhiri pertemuan itu dengan satu kalimat yang memukul telak:
"Bukankah aku selalu salah di matamu?
Mungkin aku memang salah. Tapi kali ini aku benar... memilih pergi."
Dan dia berbalik, melangkah tanpa ragu.
Tidak ada musik sedih. Tidak ada drama. Hanya suara langkah kaki seorang perempuan yang akhirnya tahu: bahwa cinta tak selalu harus diperjuangkan jika yang diperjuangkan tak pernah memperjuangkan balik.
Bersambung...Episode 16
Tidak ada komentar: